
Crazy Rich Indonesia Ramai-Ramai Alihkan Harta ke Luar Negeri, Sinyal Bahaya untuk Ekonomi?
Headnews.id – Gelombang kekhawatiran melanda para konglomerat Indonesia. Para crazy rich dilaporkan mulai memindahkan aset dan kekayaannya ke luar negeri. Langkah ini disebut-sebut sebagai bentuk ketidakpercayaan terhadap kondisi ekonomi nasional di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, terutama terkait kebijakan fiskal dan peran militer dalam pemerintahan.
Menurut laporan Bloomberg, fenomena ini bukan isapan jempol. Salah satu pelakunya adalah Chan (nama disamarkan), mantan eksekutif berusia 40-an di perusahaan besar Indonesia. Ia mengaku telah memperbanyak kepemilikan Tether (USDT)—sejenis kripto yang nilainya stabil terhadap dolar AS—untuk menjaga nilai aset dan memudahkan transfer kekayaan ke luar negeri.
“Situasi ekonomi dan ketidakpastian politik di Indonesia membuat saya waswas. Saya tidak ingin mengambil risiko,” ujar Chan.
Namun Chan bukan satu-satunya. Sejumlah manajer investasi, penasihat keuangan, hingga bankir swasta mengonfirmasi bahwa klien-klien mereka, yang memiliki kekayaan ratusan juta dolar AS, turut mengambil langkah serupa. Mereka mengalihkan kekayaan ke instrumen seperti emas, properti asing, hingga mata uang kripto.
Fenomena ini mulai terpantau sejak Oktober lalu, seiring dengan naiknya Prabowo ke tampuk kekuasaan. Situasi makin panas setelah nilai tukar rupiah terpuruk pada Maret, mempercepat arus perpindahan dana ke luar negeri.
Bahaya yang Tak Bisa Diabaikan
Tim Headnews.id telah mencoba menghubungi pejabat Bank Indonesia serta Ditjen Pajak terkait tren ini. Namun hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan resmi.
Sementara itu, peneliti CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menyebut eksodus aset orang kaya sebagai “alarm keras” bagi pemerintah. Menurutnya, jika dibiarkan, ini bisa berdampak besar terhadap stabilitas ekonomi nasional.
“Ketika orang Indonesia belanja Rp10 juta di luar negeri saja bisa menyebabkan uang Rp327 triliun menguap, bayangkan jika kekayaan mereka benar-benar diparkir secara permanen di luar negeri,” ujarnya, mengutip pernyataan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.
Yusuf juga menyoroti dampak strategis dari hilangnya potensi investasi domestik. Jika dana para pemilik modal mengendap di luar negeri, maka sektor bisnis lokal, pembangunan infrastruktur, dan UMKM bisa kehilangan sumber pendanaan vital. “Artinya, ekonomi kita kehilangan bahan bakar penting untuk tumbuh,” jelasnya.
Tak hanya itu, ia mengingatkan bahwa pelarian aset ini juga akan berdampak pada penerimaan pajak, khususnya dari pajak penghasilan individu non-karyawan dan aktivitas finansial para orang kaya. Imbasnya? Dana yang semestinya bisa dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, atau subsidi masyarakat rentan ikut lenyap.
“Kesenjangan fiskal kita akan semakin dalam jika tidak ada langkah cepat dan tegas dari pemerintah,” tutupnya.