Arah Persimpangan Jalan bagi Kelas Menengah
Headnews.id – Kelas menengah di Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan yang kritis, tertekan oleh berbagai tantangan sosial, politik, dan ekonomi yang semakin rumit. Penurunan jumlah lapangan pekerjaan, pemutusan hubungan kerja secara massal akibat kemunduran industri, dan stagnasi gaji yang tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari menciptakan situasi yang sangat membebani. Biaya hidup yang terus meningkat, baik untuk kebutuhan dasar maupun tuntutan gaya hidup modern, menambah tekanan yang dirasakan oleh kelas menengah, yang kini terjebak dalam siklus ketidakpastian yang semakin dalam.
Data Susenas 2023 menunjukkan penurunan kelas menengah menjadi 18,8 persen, dengan sekitar 8,5 juta orang mengalami penurunan status sosial. Kini, lebih dari setengah populasi Indonesia, atau sekitar 144 juta orang, terjebak di ambang batas kelas menengah yang rapuh. Dalam situasi ini, kelas menengah merasa semakin terisolasi, berjuang keras untuk mempertahankan status sosialnya di tengah ketidakpastian yang terus membayangi.
Fenomena hiburan yang semakin marak—seperti konser musik tahunan, gaya hidup mewah public figure, dan tren “healing” di kalangan generasi muda—menjadi pelarian dari kenyataan yang berat. Namun, melibatkan diri dalam gaya hidup glamor ini sering kali memaksa kelas menengah untuk mengambil pinjaman online, yang pada akhirnya memperburuk keadaan keuangan mereka.
Ketidakpedulian Pemerintah dan Dampaknya
Sementara itu, saat kelas menengah berjuang untuk bertahan, perhatian pemerintah tampaknya teralihkan kepada kegiatan yang dianggap remeh, menciptakan kesan ketidakpekaan elite politik terhadap masalah yang dihadapi masyarakat. Kelas menengah merasa tidak diprioritaskan dalam kebijakan publik, yang seharusnya memberikan dukungan kepada mereka sebagai penopang demokrasi. Ketidakpuasan ini berpotensi memicu sikap apatis terhadap politik, mengarah pada gerakan populisme yang bisa merusak tatanan demokrasi.
Robert W. Hefner menunjukkan bahwa populisme sering muncul dari krisis kewarganegaraan dan ketidakpuasan terhadap status quo. Tiga kelompok yang rentan terjebak dalam populisme di Indonesia adalah kelas menengah yang gagal mencapai mobilitas sosial, kelas menengah yang terimbas kebijakan ekonomi yang tidak efektif, dan masyarakat kelas bawah yang hidup berdampingan dengan kelompok kaya. Ketika kelas menengah mengalami ketidakpastian, mereka berpotensi mencari pelarian, baik melalui apolitik maupun menuju populisme.
Populisme memanfaatkan krisis untuk menyalurkan sentimen “kami vs mereka,” memperburuk fragmentasi sosial dan etnis. Jika tidak ditangani, populisme dapat mengikis demokrasi dan memperkuat dominasi elite. Kelas menengah yang apolitis menjadi ancaman, karena mereka tidak lagi merasa memiliki keterlibatan dalam proses demokrasi.
Sejarah Asia Tenggara menunjukkan bahwa krisis ekonomi bisa membangkitkan kembali keterlibatan politik kelas menengah. Meskipun transisi menuju demokrasi di Indonesia telah terjadi, kualitas demokrasi masih jauh dari ideal. Aktivis sosial dan mahasiswa yang dulunya menjadi motor perubahan kini kehilangan semangat atau terjebak dalam kendali elite.
Peran Kelas Menengah dalam Demokrasi
Meskipun tantangan besar dihadapi, kelas menengah memiliki potensi yang signifikan untuk menjadi kekuatan pendorong perubahan positif. Penelitian menunjukkan bahwa hanya dengan 3,5 persen populasi terlibat dalam gerakan protes, perubahan politik bisa terjadi. Dengan 18,8 persen populasi Indonesia yang merupakan kelas menengah, mereka memiliki kekuatan untuk menjaga stabilitas demokrasi dan menciptakan perubahan yang diinginkan.
Kondisi ini bukanlah akhir dari perjalanan. Kelas menengah berada di persimpangan jalan, menghadapi pilihan penting: untuk terjebak dalam apolitik dan membiarkan demokrasi merosot, beralih ke populisme yang merusak pluralitas, atau bangkit melawan tekanan dan memperjuangkan demokrasi yang lebih baik. Kelas menengah harus memilih dengan bijak, karena arah yang mereka ambil akan menentukan masa depan demokrasi di Indonesia.