Oo Koswara, salah seorang petani lokal, mengungkapkan bahwa biaya produksi bisa mencapai Rp 5 juta, namun hasil panen sering kali hanya menghasilkan Rp 3 juta. Selain itu, subsidi pupuk hanya diberikan untuk tanaman seperti bawang putih, bawang merah, dan cabai, sementara petani Ciwidey menanam bawang daun dan seledri yang tidak termasuk dalam skema subsidi.
“Pupuk subsidi tidak sesuai dengan kebutuhan kami di Ciwidey, karena tanaman kami berbeda dari yang disubsidi oleh pemerintah,” kata Koswara.
Ilham Habibie menanggapi keluhan ini dengan mengusulkan hilirisasi sebagai solusi untuk stabilisasi harga. Menurutnya, jika petani dapat mengolah hasil pertanian mereka secara mandiri, nilai produk akan lebih stabil dan berpotensi meningkat. Ia juga menekankan pentingnya penggunaan teknologi permesinan untuk membantu petani mengolah hasil panen mereka.
“Teknologi permesinan dapat menjadi solusi bagi petani untuk mengolah hasil bumi mereka, sehingga nilai produk lebih stabil dan tidak terlalu terpengaruh fluktuasi harga pasar,” ujar Ilham.
Selain itu, Ilham juga menyoroti persoalan regenerasi petani. Ia mencatat bahwa minat generasi muda terhadap pertanian terus menurun karena banyak yang lebih memilih bekerja di kota. Untuk mengatasi masalah ini, Ilham menyarankan pendekatan baru seperti urban farming atau pertanian perkotaan, yang saat ini populer di negara-negara maju.
“Urban farming bisa menjadi peluang besar bagi generasi muda di sektor hortikultura. Dengan menjadikan pertanian lebih modern dan relevan, kita dapat menarik minat anak muda kembali ke sektor ini,” jelas Ilham.
Dengan menggabungkan teknologi, hilirisasi, dan model pertanian baru seperti urban farming, Ilham Habibie berharap sektor pertanian di Jawa Barat dapat lebih berkembang dan menarik kembali minat generasi muda untuk terlibat.