Kasus Guru Supriyani Membesar, Aipda Wibowo Kini Ingin Damai
Headnews.id – Kasus dugaan penganiayaan terhadap murid oleh Guru Supriyani di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, kini makin ramai diperbincangkan publik. Terbaru, Aipda Wibowo Hasyim (WH), orang tua korban, yang semula ngotot membawa kasus ini ke jalur hukum, mendadak ingin menempuh jalan damai. Perubahan sikap ini datang setelah kasusnya sampai ke telinga Kapolri dan menarik perhatian Komisi III DPR RI.
Kasus yang melibatkan guru honorer Supriyani ini menyebabkan kekhawatiran di kalangan guru, yang khawatir tindak tegas mereka dalam mendidik murid dapat berujung pada tuntutan serupa. Komisi III DPR bahkan berencana memanggil Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, untuk membahas kasus ini.
Sebelumnya, Aipda WH dan istrinya, FN, melaporkan Supriyani karena dianggap memukul anak mereka saat tidak menulis tugas. Meskipun Supriyani telah berupaya meminta maaf, Aipda WH tetap bersikeras melanjutkan kasus ini. Namun, tekanan publik dan desakan beberapa pihak kini membuat WH mempertimbangkan perdamaian.
“Akhirnya daripada semakin melebar lagi, lebih baik melakukan mediasi, dan itu juga mendapat bujukan dari pihak Kapolres dan Kejari. Hal ini juga diketahui tokoh agama,” ungkap Laode, pengacara keluarga korban, dalam wawancara khusus dengan Tribun Sultra, Sabtu (2/11/2024).
Meski WH dan FN akhirnya setuju untuk mediasi, mereka menekankan bahwa Supriyani harus mengakui kesalahannya. “Sebenarnya yang dikejar dari keluarga korban hanya satu, yakni ibu Supriyani mengakui kesalahannya,” tambah Laode.
Sikap publik terhadap kasus ini mempengaruhi kebatinan keluarga korban. Saat pertama kali mediasi dilakukan, FN menolak permintaan maaf Supriyani, terutama karena perasaan tersinggung saat guru tersebut menantang dan membentak korban di hadapan orangtuanya. Ketegangan semakin memuncak saat Supriyani membawa uang sebagai simbol perdamaian, yang membuat keluarga korban merasa seperti sedang ‘dimainkan.’
“Dari awal kalau kami menginginkan uang, sejak awal itu sudah kami ambil. Kami merasa dihakimi oleh framing oknum-oknum tertentu,” jelas Laode, menepis tuduhan bahwa keluarga korban mengejar keuntungan materi.
Dalam kasus ini, FN juga mengungkap dampak psikologis yang dialami anaknya. “Kalau secara fisik sehat, tapi mental cukup terganggu semenjak ramai-ramai ini,” ujarnya dalam program Telusur TVOne. Ia menjelaskan anaknya bingung mengapa tidak lagi sekolah dan merasa dikucilkan. PGRI Kecamatan Baito bahkan menerbitkan surat yang melarang anak tersebut diterima di sekolah mana pun di wilayah kecamatan.
Surat tersebut, yang juga ditembuskan ke Polsek Baito, menyebutkan beberapa tindakan, termasuk mogok belajar di tingkat TK, SD, hingga SMP se-Kecamatan Baito, mulai tanggal 21 Oktober 2024. PGRI meminta agar Supriyani kembali mengajar dan siswa yang terlibat dalam kasus ini dikembalikan ke orangtua dan dilarang masuk sekolah.
Kasus ini menjadi sorotan nasional dengan banyak pihak menyerukan keadilan dan perlindungan bagi para guru di Indonesia.