Kontroversi Ekspor Benih Bening Lobster
Headnews.id – Pemerintah Indonesia kembali membuka keran ekspor benih bening lobster (BBL) setelah dua tahun penutupan, dengan harapan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan dan mendatangkan penerimaan negara yang signifikan. Namun, kebijakan ini memicu polemik di kalangan masyarakat, khususnya di kalangan nelayan, aktivis lingkungan, dan lembaga terkait, yang khawatir akan dampaknya terhadap kelestarian lobster dan ekosistem perairan.
Kajian menunjukkan bahwa meskipun kebijakan ekspor dibuka, praktik penyelundupan dan perdagangan ilegal BBL tetap marak. Hal ini dapat mengancam populasi lobster di alam. Untuk menghadapi tantangan ini, beberapa langkah diusulkan, termasuk peningkatan akurasi pencatatan neraca benih lobster, pengawasan yang lebih ketat, dan penegakan hukum terhadap penyelundupan. Pelibatan nelayan dalam proses pengelolaan juga dianggap penting untuk menciptakan rasa memiliki terhadap sumber daya yang mereka kelola.
Komisi IV DPR RI diharapkan dapat memperketat pengawasan atas pelaksanaan kebijakan ini untuk memastikan keberlanjutan lobster dan melindungi kesejahteraan nelayan. Selain itu, evaluasi berkala terhadap penerapan kebijakan ini sangat penting untuk menanggapi dinamika yang terjadi di lapangan.
Pembukaan ekspor dilakukan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 7 Tahun 2024, yang memungkinkan budidaya lobster di luar negeri dan menciptakan peluang investasi. Meski demikian, peraturan ini juga membuka peluang bagi perusahaan asing yang mungkin memiliki keunggulan teknologi, sehingga meningkatkan persaingan yang tidak seimbang bagi nelayan lokal.
Ironisnya, tak lama setelah pemberlakuan kebijakan, aparat penegak hukum berhasil menggagalkan beberapa upaya penyelundupan BBL di berbagai titik perairan Indonesia. Dalam satu kasus, lebih dari 490.000 BBL berhasil diamankan, menunjukkan betapa menggiurkan bisnis ilegal ini di tengah tingginya permintaan internasional, terutama dari negara seperti Vietnam.
Aktivis lingkungan menyoroti bahwa tingginya harga lobster di pasar internasional menjadi pendorong utama terjadinya overfishing, di mana nelayan cenderung mengabaikan regulasi terkait ukuran dan musim tangkap. Ini berpotensi merusak populasi lobster dan mengganggu ekosistem perairan.
Meskipun pemerintah telah mencoba menerapkan berbagai kebijakan pelarangan ekspor sejak 2016 untuk menjaga kelestarian lobster, masalah ini terus berulang. Kebijakan terbaru diharapkan dapat memberikan solusi, tetapi jika tidak diimbangi dengan pengawasan yang ketat dan edukasi kepada nelayan, kekhawatiran akan kerusakan lebih lanjut terhadap populasi lobster akan terus membayangi.
Para peneliti dan organisasi masyarakat sipil mendorong pemerintah untuk lebih hati-hati dalam menerapkan kembali ekspor BBL, mengingat potensi kerugian jangka panjang bagi ekosistem dan kesejahteraan nelayan. Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang tepat juga menjadi sorotan, karena banyak nelayan memilih menjual secara ilegal kepada pedagang yang menawarkan harga lebih tinggi.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa nilai ekspor lobster jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ekspor benih lobster. Oleh karena itu, ada usulan untuk lebih memfokuskan perhatian pada pengembangan sektor ekspor lobster secara langsung, alih-alih hanya menekankan pada ekspor benih.
Kesimpulannya, meskipun pembukaan kembali ekspor BBL memiliki potensi positif bagi perekonomian, perhatian yang serius terhadap praktik pengelolaan yang berkelanjutan dan penegakan hukum yang ketat diperlukan untuk menjaga keberlanjutan lobster dan kesejahteraan nelayan Indonesia.