Mikroplastik Ditemukan di Jaringan Otak Manusia, Ancaman yang Semakin Nyata
Jakarta,Headnews.id-Keberadaan mikroplastik dalam tubuh manusia semakin mengkhawatirkan. Dalam penelitian terbaru, partikel plastik berukuran sekitar 5 mm ini ditemukan dalam jaringan otak manusia, yang sebelumnya juga terdeteksi di berbagai organ dalam lainnya.
Matthew Campen, seorang ahli toksikologi dan profesor ilmu farmasi di Universitas New Mexico, yang juga penulis utama studi ini, mengungkapkan bahwa temuan ini sangat mengejutkan. “Jumlah plastik di otak kita jauh lebih banyak dari yang saya bayangkan. Saya tidak yakin seberapa banyak lagi plastik yang bisa terakumulasi di otak kita tanpa menimbulkan masalah,” ujarnya dalam wawancara dengan People.
Penelitian Campen juga mempelajari 12 sampel otak dari pasien yang meninggal akibat demensia, termasuk Alzheimer. Hasilnya menunjukkan bahwa otak pasien ini mengandung mikroplastik hingga 10 kali lebih banyak dibandingkan otak yang sehat. Dalam periode 2016 hingga 2024, ditemukan bahwa kandungan mikroplastik dalam sampel otak meningkat hingga 50 persen, sejalan dengan peningkatan jumlah mikroplastik di lingkungan.
Penemuan ini semakin mempertegas bahwa mikroplastik telah menjadi ancaman serius bagi kesehatan manusia. Sebuah studi dari National Institutes of Health yang dipublikasikan pada Mei 2024 menunjukkan bahwa rata-rata 91 sampel otak mengandung mikroplastik 10 hingga 20 kali lebih banyak dibandingkan organ lain, seperti hati dan ginjal. Penelitian ini menyimpulkan bahwa otak adalah salah satu organ yang paling banyak terkontaminasi mikroplastik.
Dalam studi yang diterbitkan di Journal of Hazardous Materials pada Juli 2024, mikroplastik ditemukan dalam 16 sampel sumsum tulang. Setiap sampel mengandung polistiren, plastik yang digunakan dalam pembuatan styrofoam, dan hampir semua sampel juga mengandung polietilen, jenis plastik yang umum digunakan dalam pembungkus makanan dan botol deterjen. Selain itu, mikroplastik juga ditemukan dalam semua 45 sampel dari penelitian pasien yang menjalani operasi lutut atau pinggul.
Penelitian lain yang melibatkan 312 pasien yang telah menghilangkan timbunan lemak dari arteri karotisnya menemukan bahwa hampir 60 persen sampel mengandung mikroplastik. Pasien ini memiliki risiko 2,1 kali lebih tinggi untuk mengalami serangan jantung, stroke, atau bahkan kematian.
Hingga saat ini, Amerika Serikat belum menetapkan standar resmi untuk partikel plastik dalam makanan atau air. Namun, Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) telah memberikan panduan untuk mengukur mikroplastik dan, sejak 2018, mendanai penelitian untuk mengembangkan metode deteksi dan pengukuran yang lebih efisien.
Namun, pernyataan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) menimbulkan kontroversi. FDA menyatakan bahwa tingkat mikroplastik yang terdeteksi dalam makanan tidak menimbulkan risiko bagi kesehatan manusia. Meski begitu, para peneliti terus menyerukan tindakan yang lebih agresif untuk mengurangi polusi plastik di lingkungan.
Peneliti lain, Sedat Gündoğdu dari Universitas Cukurova di Turki, mengatakan bahwa keadaan darurat global harus segera diumumkan. Meskipun dampak mikroplastik pada kesehatan manusia belum sepenuhnya dipahami, penelitian menunjukkan bahwa mikroplastik dapat menyebabkan stres oksidatif yang memicu kerusakan sel, peradangan, serta berbagai penyakit serius lainnya.
Bethanie Carney Almroth, seorang ahli ekotoksikologi dari Universitas Gothenburg di Swedia, menambahkan bahwa penumpukan mikroplastik dalam organ manusia sangat mengkhawatirkan. Para peneliti menyarankan agar masyarakat mulai mengurangi penggunaan plastik dalam persiapan makanan dan mengurangi debu rumah tangga sebagai langkah awal untuk mengurangi paparan mikroplastik.
Krisis plastik global ini juga mendorong PBB untuk memperingatkan bahwa manusia tidak dapat mengandalkan daur ulang saja untuk mengatasi masalah ini. Inger Andersen, direktur Program Lingkungan Hidup PBB, menyatakan bahwa perubahan radikal dalam cara penggunaan plastik harus segera dilakukan.
“Daur ulang saja tidak cukup. Kita harus berpikir ulang tentang cara kita menggunakan plastik,” kata Andersen dalam wawancara dengan AFP. Dua minggu setelah publikasi rancangan pertama Plastic Treaty, sebuah perjanjian internasional mengenai polusi plastik yang diharapkan selesai pada akhir 2024, Andersen menekankan pentingnya mengurangi produksi plastik sekali pakai dan mendukung penggunaan kembali serta daur ulang plastik.