February 19, 2025
Industri Manufaktur Lesu, PHK Mulai Marak: Tanda Ekonomi Indonesia Melemah
Economy

Industri Manufaktur Lesu, PHK Mulai Marak: Tanda Ekonomi Indonesia Melemah

Sep 3, 2024

Headnews.id-Tanda-tanda pelemahan ekonomi Indonesia semakin nyata, terutama di sektor manufaktur. Laporan terbaru dari S&P Global menunjukkan bahwa Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia berada di level 48,9 pada Agustus 2024, turun dari 49,3 pada Juli 2024. Ini menandakan dua bulan berturut-turut industri pengolahan Indonesia berada di bawah level 50, yang menjadi batas antara ekspansi dan kontraksi.

Kinerja manufaktur di Agustus 2024 menjadi yang terendah dalam tiga tahun terakhir. Menurut panelis S&P Global, penurunan ini disebabkan oleh turunnya permintaan pasar, baik domestik maupun internasional. Penurunan permintaan ekspor mencapai titik terendah sejak Januari 2023, dengan beberapa panelis mengaitkannya dengan tantangan pengiriman global yang semakin membebani penjualan.

Dampak dari menurunnya produksi dan permintaan baru ini mulai terasa dengan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai pabrik sektor manufaktur. Tingkat staf secara umum mengalami penurunan selama dua bulan berturut-turut, meskipun penurunannya relatif kecil.

Paul Smith, Economics Director S&P Global Market Intelligence, menjelaskan bahwa penurunan tajam dalam permintaan baru dan output di bulan Agustus menjadi indikasi jelas dari melemahnya perekonomian sektor manufaktur Indonesia. “Tidak mengejutkan bahwa perusahaan merespons dengan mengurangi jumlah karyawan, meskipun banyak yang percaya ini hanya bersifat sementara,” ujarnya dalam keterangan resmi pada Senin (2/9/2024).

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita tidak terkejut dengan laporan PMI tersebut. Menurutnya, situasi ini terjadi karena belum adanya kebijakan signifikan yang diterapkan untuk menjaga kestabilan industri manufaktur nasional. “Kami tidak terkejut dengan kontraksi yang lebih dalam pada industri manufaktur Indonesia,” kata Agus.

Agus menjelaskan bahwa kontraksi ini terutama disebabkan oleh penurunan penjualan, yang berujung pada peningkatan stok barang jadi selama dua bulan berturut-turut. Kondisi ini diperparah oleh masuknya produk impor murah ke pasar domestik, yang menyebabkan masyarakat lebih memilih produk-produk tersebut.

Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arief, menambahkan bahwa beberapa pelaku industri tengah mencermati perkembangan kebijakan pemerintah yang berdampak langsung pada pelambatan ekspansi di subsektor tertentu. Misalnya, di industri makanan dan minuman, ada kekhawatiran terkait rencana penerapan cukai untuk minuman berpemanis dalam kemasan.

Untuk mengatasi perlambatan ini, pemerintah tengah mempercepat perluasan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT), penerapan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) untuk industri terdampak seperti keramik dan kertas, penerapan SNI, serta pengetatan aturan impor dan penegakan hukum terhadap impor ilegal. Febri juga menekankan pentingnya pengesahan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Gas Bumi untuk Kebutuhan Dalam Negeri, yang diharapkan dapat menjadi solusi bagi industri manufaktur di masa depan.